Generasi Alay Gelaran reality show di televisi telah menjadi budaya massa. Hamp...

Generasi Alay



Gelaran reality show di televisi telah

menjadi budaya massa. Hampir seluruh

televisi berlomba menghadirkan

penonton. Sebagian mereka disebut

generasi Alay. Oleh penyelenggara

acara, kehadiran mereka memang

dibutuhkan. Apakah dalam bentuk

tepuk tangan, joget bersama, bermain

di panggung (meski sebentar) atau

dalam bentuk lain yang membuat

show lebih hidup.

Kita sebagai penonton boleh jadi

terhibur. Bagaimanapun tampilan

sebagian mereka memang ada yang

lucu, culun, dan bikin gelak tawa.

Bahkan, beberapa presenter merasa

seperti kehilangan spirit jika di

sekelilingnya tidak ada kaum alay.

Paling tidak dengan lemparan kata,â

€�penontooooon..!, mana jempolnya?

Apa kabar? Dan kalimat lain yang

terlihat akrab jika direspon ramai-

ramai oleh kaum alay.

Di televisi swasta, sejak pagi pukul

tujuh kita menyaksikan kehadiran

mereka. Tak jarang mereka datang

berkelompok (rombongan). Dandanan

khas menyerupai artis idola walau

cenderung maksa. Satu yang menjadi

ciri utama adalah semangat mereka.

Lihatlah, bagaimana cara mereka

mengikuti acara mulai dari awal sampai

akhir, tak tampak ada wajah menyesal.

Alay telah menjadi bagian dari budaya

massa. Wajar apabila sebagian orang

menganggapnya sebagai kewajaran

umum yang tak terhindarkan. Artinya,

jamannya memang begitu ya harus

begitu. So what gitu loh?. Ditambah

dengan trend bahasa shoimah,â

€�emang masalah buat loe?!â€�

Ya, tulisan ini hanya sebagai refleksi

pribadi saya. Mungkin berlawanan

dengan cara berpikir banyak orang,

khususnya kaum alay. Yang saya lihat

adalah bahwa mereka adalah generasi

muda Indonesia. Usia mereka dalam

kategori produktif. Maka, ada potensi

besar dalam raga, pikiran ataupun

waktu dari yang mereka miliki.

Potensi itu tentu sebagi anugerah

Tuhan yang hanya datang pada usia

muda. Sekali seumur hidup. Setelah

melewati usia tersebut, sudah tak bisa

diulangi lagi. Maka kaum alay

sesungguhnya bisa menjadi pendobrak

kejumudan, kemunduran atau

keterpurukan negeri ini. Bukan hanya

soal ekonomi, hukum dan politik, tetapi

budaya kerja keras.

Mengapa budaya kerja keras? Sebab

itulah kunci sukses kemajuan bangsa.

Kita bisa melihat, bagaimana

kehidupan generasi muda di Jepang,

korea, malaysia atau negara terdekat

yaitu Singapura. Sebagian besar

terhabiskan oleh kegiatan produktif.

Mereka sadar jika masa depan bangsa

ditentukan olehnya. Kosakata mereka

adalah belajar dan bekerja.

Bukan santai dan santai seperti yang

terlihat pada kaum alay di negeri ini.

Waktu berharga di pagi, siang, dan

malam sungguh akan produktif jika

digunakan untuk belajar atau

berkarya. Apakah itu di sekolah, di

laboratorium, di tempat kerja, atau

ditempat lain yang lebih produktif bagi

diri maupun bangsanya.

Saya berani mengatakan jika

kehadiran (loyalitas) mereka

menghadiri acara reality show hanya

membuang waktu percuma. Apalagi

mayoritas materi reality show di

televisi adalah hiburan, bukan

pelajaran. Betapa disayangkan,

gerakan tangan, tubuh serta ucapan

riuh rendah mereka, yang tentu

bertenaga, hanya digunakan untuk

membuat indahnya tayangan.

Sayang para pemimpin di negeri ini,

khususnya para pengelola televisi

hanya pandai mencari ratting demi

ratting dari setiap acara yang digelar.

Ujungnya adalah perolehan iklan yang

membanjir. Mereka tak sadar, bahwa

dengan gelaran reality show yang

kemudian memunculkan kaum alay

telah merusak masa depan bangsa

perlahan lahan.

kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar